Rabu, 12 Desember 2012
Oleh Myriam Chaplain-Riou | AFP News
Dimakan labu raksasa, ditelan banjir atau kebakaran, membeku dalam nuklir musim dingin atau zaman es baru — manusia menatap akhir dunia dengan rasa takut sekaligus tertarik sejak awal peradaban.
Fenomena alam seperti siang yang berganti malam, atau empat musim silih berganti telah mendorong ketakutan panjang bahwa manusia akan jatuh ke dalam kegelapan abadi, atau musim dingin tak berujung.
"Sebelum era agama-agama monoteis, peradaban paling kuno hidup dalam ketakutan bahwa siklus kehidupan akan berhenti suatu hari nanti," jelas sejarawan Bernard Sergent, penulis buku terbaru yang menjelajahi 13 mitos kiamat.
Kaum Aztec percaya, ada kemungkinan bahwa setiap 52 tahun, matahari tidak lagi terbit sehingga mereka mengorbankan manusia untuk memastikan matahari tetap terbit.
Namun, bukannya dianggap akhir dunia, sejarah kiamat sering dipandang sebagai cara untuk memulai dari awal, membagi yang baik dan jahat untuk memulai kehidupan baru.
Kitab Wahyu dalam Alkitab menggambarkan serangkaian peristiwa bencana yang memusnahkan sebagian dari kehidupan di Bumi, yang mencapai puncaknya dengan pengumuman kedatangan Yesus Kristus yang kedua kali.
Sementara itu, Islam juga menjelaskan kisah tentang kiamat dengan badai pasir, perang atau kebakaran.
Wabah penyakit, kelaparan dan perang brutal membuat Eropa pada Abad Pertengahan tampak siap menghadapi kiamat. Mereka yakin dunia akan berakhir pada tahun 1.000 Masehi, seperti yang diramalkan para peramal kiamat satu milenium kemudian.
Pada awal Renaissance, Anabaptis yakin akhir dunia sudah dekat, dan penting untuk dilakukan pembaptisan ulang sebelum kiamat datang.
"Hal yang paling dipikirkan ketika dihukum oleh para dewa, atau oleh alam, adalah pemberian hukuman karena menentang kekuatan yang lebih tinggi," kata Jean-Noel Lafargue, penulis penelitian tentang mitos akhir dunia sepanjang sejarah.
"Zaman sekarang, kita tidak perlu lagi Tuhan untuk membuat kita takut. Bencana akibat ulah manusia cukup membuat kita takut... Itulah yang berubah pada abad ke-20."
Selama ribuan tahun, air adalah senjata ampuh yang sering digunakan.
Bagi kaum Yahudi dan Kristen, banjir membangkitkan kisah Alkitab tentang Bahtera Nuh. Meski demikian, cerita air bah yang dikirim kepada manusia karena kemarahan Tuhan sudah ada dari zaman kuno.
Di Mesopotamia semua mitos tentang banjir terjadi dari zaman Sumeria, antara tahun keempat dan kedua milenium sebelum Masehi, seperti yang diceritakan dalam Epos Gilgames, salah satu karya sastra paling awal yang bertahan.
Yunani Kuno dan Romawi memiliki cerita mereka sendiri tentang banjir: mulai dari banjir Ogyges (dinamai berdasarkan raja dari mitos) hingga Atlantis, pulau legendaris yang ditelan oleh laut, seperti yang diceritakan oleh filsuf Plato.
Menurut kitab Kejadian di Alkitab, Tuhan memutuskan untuk membersihkan Bumi dari manusia dan binatang, memerintahkan seorang manusia suci, Nuh, untuk membangun sebuah bahtera untuk menyelamatkan dirinya dan sisa-sisa kehidupan.
Kebakaran biasanya terjadi sebelum atau setelah banjir.
Budaya Yunani, Skandinavia, India dan suku asli Amerika semua berbicara tentang pemusnahan awal umat manusia yang disebabkan kebakaran.
Afrika dan Mesir kuno tidak memiliki mitos banjir, tapi cerita rakyat Afrika Barat berbicara tentang "labu pemangsa" yang menelan seluruh pemukiman, rumah, ternak, bahkan seluruh umat manusia.
"Saya pikir itu bagian dari manusia, bagian dari jiwa manusia, untuk tertarik dengan akhir dunia," kata Jocelyn Bell Burnell, profesor tamu astrofisika di Oxford, kepada AFP.
Pada abad ke-21, kiamat — dalam layar kaca — yang paling sering muncul adalah pandemi atau bencana iklim, tetapi para peramal kiamat mungkin sudah menyediakan persediaan, karena semakin dekatnya akhir dunia menurut kalender suku Maya, yang jatuh pada 21 Desember.
0 komentar:
Posting Komentar