Rabu, 08 Agustus 2012
Masjid Pertama di Indonesia ternyata yang memberi nama adalah orang Tionghoa!
Cheng Hoo, dikenal sebagai laksamana dan bahariawan dari daratan China yang sangat tangguh. Ia bersama 28.000 prajurut dengan 300 armada kapal berhasil mengarungi planet bumi melalui samudera hingga tujuh kali putaran. Dalam pelayaran perdamaian atas perintah kekaisaran Ming itu, Cheng Hoo sempat menginjakkan kakinya di tanah kekuasaan Majapahit antara tahun 1406-1409 M.
Belakangan nama Cheng Hoo begitu dikenal di masyarakat tanah air setalah film Cheng Hoo yang disyuting di tiga negara dan dibintangi mantan Mensesneg RI Yusrul Ilza Mahendara dan Saifullah Yusuf selesai dibuat.
Tidak hanya itu, kebesaran nama Cheng Hoo juga memberi inspirasi kepada wargaTionghoa muslim di Surabaya untuk mendirkan yayasan dan bangunan masjid dengan nama Masjid Muhamad Cheng Hoo. Agak kurang sreg memang, dengan nama masjid ini. Telinga kita terlalu diakrabkan dengan nama-nama masjid dalam bahasa arab atau campuran bahasa arab-Indonesia. Kesan kita selama ini terbangun, keislaman atau yang berbau Islam erat sekali hubungannya dengan bahasa dan dunia arab, baik dalam sastra, terutama tradisi-tradisi keagamaan. Sehingga di benak kita, hal-hal yang berbau Tionghoa sudah sangat identik dengan kelenteng atau kepercayaan Tao bahkan identik dengan ritual membakar dupa dan kemenyan.
Namun tidak demikian jika berkunjung ke Masjid Muhamad Cheng Hoo di Surabaya. Masjid Pertama yang didirikan tahun 2002 dan diresmikan oleh Menteri Agama RI Prof KH Agil Syiraz Almunawar itu, mulai lantai hingga kubah sama sekali tidak menunjukkan arsitektur timur tengah. Seperti lengkungan kubah yang sangat mudah dijumpai di masjid-masjid.
Berkunjung ke masjid ini tidak terlalu sulit. Selain di peta sudah tercantum, letaknya tidak jauh dari Stasiun Gubeng-Surabaya. Bila menggunakan jasa taksi dari Stasiun Gubang paling menghabiskan perjalanan 10 menit. Alamat lengkapnya, di Jalan Gading Nomor 2 Surabaya. Memang posisinya agak menjorok di pemukiman warga. Saat itu juga, penulis dan rekan-rekan sempat salah masuk jalan.
Jika masuk dari arah timur, masjid ini tidak terlalu kentara karena terhalang gedung yayasan dan kantor pengurus. Namun jika dari arah selatan, meski terhalang dinding tinggi, puncak masjid terlihat hijau dan merah menyala.
Jalan menuju masjid ini hanya satu pintu yang dijaga oleh beberapa satpam. Tak banyak tanya satpam di sana. Mungkin karena terbiasa, atau memang menujukkan bahwa masjid ini sangat terbuka dikunjungi siapapun, termasuk pengunjung non muslim. Saat itu, ada remaja yang berkulit putih dan komunikasinya menggunakan bahasa China. Mereka leluasa mengambil foto bahkan dengan bebas masuk ke ruang utama masjid.
Memasuki kompleks masjid, di sebelah kanan terlihat WC berjajar dengan atap berarsitektur China. Tteapi pagar di sekeliling, seperti halnya pagar masjid atau perkantoran pada umumnya. Menggunakan kawat yang dianyam dan tinggi sekitar tiga meter.
Masjid berukuran 11 X 12 meter persegi ini, didominasi warna merah dan kuning serta hijau, layaknya warna klenteng-klenteng di tanah air. Dari arah depan, warna merah tersebut nampak mencolok. Namun dari dua tangga kiri kanan, sangat kentara tulisan kaligrafi arab menggunakan bahan kuningan, berdiameter sekitar satu meter. Kaligrafi ini jika dibaca ternyata isinya bismillahirrohmaanirroohim.
Dominasi warna merah juga terdapat dalam lespang di setiap undak bangunan. Ada tiga tingkatan atap masjid ini. Jika dilihat dari atas akan terlihat seperti jaring laba-laba. Di antara atap ke tiga dan empat, dalam ukiran kaca diisi dengan kaligrafi sifat-sifat Allah yang 20. Mulai sifat wujud hingga sifat mutakaliman. Sifat-sifat ini yang menjadi pegangan logika ilmu kalam yang dicetuskan Asyariyah yang banyak dianut di Asia Tenggara termasuk di Indonesia yang beraliran “ahlusunnah waljamaah”. Sementrara itu, di pinggir kanan masjid terdapat realif Laksamana Chengho beserta perahu yang menjadi armada pelayaran Cheng Hoo mengelilingi dunia.
Gambaran yang menunjukan tradisi China juga terdapat beduk yang bentuknya seperti beduk-beduk yang digunakan dalam pertunjukan barongsai. Beduk tersebut disimpan di pintu masuk sebelah kanan dan bagi yang postur tubuhnya tinggi, beduk itu bisa tersundul.
Beduk di masjid atau mushola di pulau Jawa sudah biasa dan fungsinya tidak berbeda dengan beduk di masjid Cheng Hoo. Yakni, untuk pertanda masuknya waktu shalat, selain dengan lantunan suara muadzjin.
Suasana China juga sangat terasa saat masuk ke dalam masjid yang terdiri dari dua tangga tersebut. Di antara ruang istirahat dan ruang utama masjid ini dipisahkan dengan pagar besi tempa yang mengesankan dibuat ratusan tahun lalu. Terlihat sangat kokoh dengan ukiran khas China, ikurannya mirip kepala barongsai juga kotak-kotak yin dan yang. Dinding belakang dan depan terbuat dari bata-bata yang tidak diplester namun terlihat ditata apik. Warna catnya, merah bata menyala dan terlihat lekak-lekuk antra bata-bata yang tersusun dicorok itu. Sementara seluruh tiang, terlihat tinggi menjukang dan dikakinya dilapisi besi tempa yang mengesankan bangunan kuno.
Namun naunsa arab agak terasa jika kita memalingkan penglihatan ke atas masjid. Meski dari luar terlihat bangunan China, namun dari dalam ini terliat lengkungan kubah yang kiri kananya bertuliskan asmaul husna yang 99. Kaligrafi seperti ini sangat mudah ditemukan pada lukisan masjid-masjid di tanah air.
Mengapa diberi nama Masjid Muhammad Cheng Hoo? Pengurus Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Jawa Timur yang juga imam masjid Cheng Hoo, Ustad H Haryono Oong menjelaskan, nama tersebut sebagai salah satu bentuk penghargaan atas kebesaran Choing Hoo yang telah berlayar menyuarakan perdamaian ke penjuru dunia termasuk ke Kerajaan Majapahit saat itu. Sedangkan bentuk masjid katanya, diadopsi dari sebuah masjid di Kota China. Namun dia, di China sendiri tidak ada masjid bernama Masjid Muhammad Cheng Hoo. Sehingga masjid ini diyakni merupakan masjid pertama di dunia yang diberi nama Muhamad Cheng Hoo.
Selain masjid di bawah yayasan PITI tersebut, di lokasi yang sama, terdapat lembaga pendidikan TK dan TPA. Murid TK di sini tidak semunya bergama Islam. Kata warga keturunan lulusan IAIN Sunan Ampel Surabaya ini, sekitar 10 persen muridnya non muslim.
Meskipun belum termasuk masjid terindah di dunia, kita sebagai Warga Negara Indonesia harus merasa memiliki dan bangga akan semua yang ada dan di hadirkan oleh nenek moyang kita, para pejuang kita. Sematkan di dada semuanya satu, satu untuk Indonesia, jangan pernah mau untuk dipecah belah, karena kita semua bersaudara.
Subscribe to:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar