Kamis, 07 Februari 2013
Zaman dahulu kala, sebelum kerajaan Sriwijaya datang, hubungan lalu lintas laut di seluruh dunia dilakukan dengan perahu layar, saat itu banyak pula lanun atau bajak laut. Menurut cerita, ada kelompok bajak laut asal negeri Cina, terdiri atas tiga perahu layar menuju ke selat Bangka. Mereka dipimpin oleh seorang yang bergelar kapitan. Mereka sangat tertarik ketika melewati muara sungai musi. Terutama karena lebarnya. Kapiten lalu melihat peta yang berada di dinding kamarnya, ternyata sungai itu belum ada namanya. Kapiten memerintahkan perahu untuk menurunkan layar dan berkata kepada anggota teras anak buahnya: “Dalam peta sungai ini sangat panjang, tetapi belum ada namanya, Ayo kita selidiki”.
Tiga perahu itu berdayung beriring-iiringan memasuki sungai musi dan terus menghulu. Ketika itu, kota Palemban masih merupakan perkampungan yang ramai. Perampok itu melihat perahu besar dan tongkang yang berasal dari hulu sarat dengan muatan hasil bumi. Berkatalah Kapiten kepada anak buahnya. Muatan ini sangat penting bagi perdagangan di dunia, lihatlah berbagai jenis rempah-rempah, jangan ada yang mengusik mereka, kita dekati dengan ramah, pastilah di hulu sana sumber hasil bumi semua ini, kita dekati dengan ramah.
Perahu besar dan tongkang itu adalah milik pedagang lain di Nusantara. Selain besar dan sayur mayur, ada juga hasil bumi seperti kopi, lada, cengkeh, kayu manis, buah pala dan tembakau. Semua itu adalah barang dagangan yang mahal harganya di negeri lain. Perampok itu lalu mendekati perahu dan tongkang, karena pedagang tidak mengerti bahasa cina, percakapan dilakukan dengan cara memberi isyarat, ternyata, mereka bisa saling mengerti.
Ketika itu, perdagangan tidak dilakukan dengan uang, kapiten menunjukkan di ketiga perahu mereka berbagai jenis barang mulai dari pakaian dan kain, emas, perak, sampai ke bahan pangan. Semua itu mereka peroleh dari hasil merampok. Akhirnya terjadilah jual beli dengan cara menukar barang melalui percakapan dengan isyarat, penduduk dan pedagang mengatakan bahwa hasil bumi mereka peroleh dari hulu. Untuk itu, Kapiten mengutus untuk ke hulu. Karena perahu mereka besar-besar, perampok itu membeli perahu penduduk dengan cara menukar. Dengan perahu itulah mereka menghulu. Kapiten lalu menyuruh sebagian anak buahnya untuk naik ke daratan meneliti keadaan dan banyak anak buah masuk ke kampung dan menjelajah hutan, mereka sangat kagum melihat kesuburan lahan di daratan. Hasil sayur mayur tidak terpanen, begitu juga tanaman kopi bagaikan hutan dengan buahnya yang bensar-besar, begitu juga cengkeh, kayu manis dan berbagai tanaman lainnya. Kelompok yang menjajah daerah Muara Enim sekarang juga kagum melihat berbagai jenis rempah-rempah dan di berbagai lokasi timbul batu bara di permukaan tanah, sementara yang sampai ke daerah Rejang Lebang terkejut melihat penduduk mendulang emas di sampaing tanaman rempah-rempah yang berlimpah.
Berbulan-bulan menerima laporan, kapiten memerintahkan untuk membeli sebanyak-banyaknya, mengajari mengambil batu bara, penduduk sangat senang, berbulan-bulan berlangsung barang perampok itu habis untuk menukar, sementara tiga buah perahu mereka sudah penuh dengan muatah hasil bumi, termasuk tembakau yang mereka temukan di daerah Danau Ranau.
Tiba di muara sungai, kapiten memerintahkan tiga perahu layar mereka berlabuh berdekatan. Suatu malam, kapiten memberi penjelasan di hadapan sebagian anak buahnya, mereka bermusyawarah untuk kemana saja barang itu akan mereka jual, dan bermusyawarah untuk kemana saja mereka berlayar kemudian merampok. Hasil rampokan itu akan mereka jadikan bahan pembeli atau penukar barang di daerah yang baru mereka kunjungi, kapiten berujar : kita harus bergaul sebaik mungkin dengan penduduk, barang dagangan kita harus ada dalam jangka panjang, untuk itu anak buah yang saya pilih tinggal di sini. Kembalilah dengan menggunakan perahu. Pelajari penduduk bahasa daerah. Tetapi awas jangan ada sekali-kali yang berbuat jahat atau kasar terhadap penduduk bersama anggota terasnya. Disinilah sejumlah anak buah untuk kembali ke Palembang dan langsung ke pedalaman. Kemudian kapiten itu menunjuk lagi peta yang berada di dinding ruangan. Dia memberi tanda melingkari daerah Sumsel seraya berkata : “Kita sekarang berada di daerah ini, menurut peta, sungai dan daerah ini belum ada namanya, sudah ku pikir-pikir kita menamakan daerah ini mu ci (menurut bahasa tua cina han muci adalah ayam betina, sekali bertelur belasan butir telur sumber uang yang laris. Daerah ini sangat subur, luar biasa suburnya, maka daerah ini juga layak disebut muci maksudnya dewi penolong manusia, karena tanahnya demikian subur yang selalu memberi keberuntungan bagi manusia.
Seluruh kelompok itu tertawa riang karena pimpinannya mendapat nama yang sesuai dengan pendapat mereka, kalian ingat pendidik di daerah ini juga memiliki sifat yang baik yang dimiliki ayam. Kaum pria di negeri ini ramah, murah menerima orang asing, ramah bergaul baik dan suka menolong, akan tetapi, jangan ada yang berbuat curang atau menipu mereka. Bukankah ada empat orang teman kita yang meninggal karena ditusuk penduduk dengan pisau?
Seorang anggota teras berkata benar kapiten, itu salah mereka sendiri, sudah saya perintahkan agar berperangai baik. Daerah ini dan seluruh penduduknya akan jadi barang dagang kita dalam jangka panjang. Selain itu, wanita di daerah muci ini juga sangat baik. Kulit mereka kuning seperti kita, tapi wajah mereka tidak seperti wajah wanita kita, juga tidak seperti wajah orang Eropa, wajah milik bumi mereka sendiri. Kaum wanita di daerah ini hebat dan mengagumkan, mereka bekerja keras membantu suami, tak ubahnya seperti ayam betina, bekerja keras mencari makanan untuk anaknya. Hormat dan baik pada sesamanya. Akan tetapi jangan coba-coba ada yang mengganggu anaknya, biar burung elang, musang bahkan harimau sekalipun jika mengganggu anaknya, induk ayam akan menyerang musuhnya. Buktinya sudah kita rasakan bukan?. Para bajak laut itu tertawa lebar, ada yang berkata yaa benar kapiten, tiga orang teman kita luka parah ditusuk wanita dengan pisau, salah mereka sendiri karena mereka hendak mengganggu wanita”. Benar itu sahut kapiten, karena tanah di daerah ini sangat subur dan memberi kehidupan yang berlimpah pada manusia, saya memilih muci untuk mana daerah ini. Inilah sungai muci, sungai yang memberi manfaat dan keberuntungan kepada manusia.
Tahun berikutnya, ketika bajak laut datang lagi membawa hasil rampokan untuk modal berdagang, mereka menyebut daerah itu muci, beratus tahun kemudian muci berubah menjadi musi.
Subscribe to:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar